Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nilai budaya & Bahasa gayo Perspektif Gayology oleh Dr. Joni MN, M.Pd, B.I

1. Pengantar
    Budaya dan Bahasa Gayo memiliki kaya akan makna dan memiliki “edet” atau adat yang amat beradab, hal ini dapat kita lihat dari cara mereka berbicara dan ketika berinteraksi dengan sesama masyarakat atau dengan pendatang baik itu tamu yang berasal dari luar negeri atau domistik. Di dataran tinggi Tanoh Gayo dan/atau pada suku Gayo, edet yang dibudayakan pada keseharian mereka bahawa budaya dan bahasanya benar-benar tidak dapat dipisahkan keduanya, dan keduanya selalu harus berjalan bersama-sama.

    Hal ini pernah diakui oleh beberapa orang yang bukan bersuku Gayo, diantaranya adalah; Profesor Edi Subroto yang merupakan dosen pada jenjang Doktor Linguistik UNS – Solo yang pada saat dia mengetahui Bahasa dan Adat Gayo yaitu pada waktu memberi matakuliah Kapita Selekta, saat itu tepatnya tanggal 6 Maret 2012 kami berdiskusi tentang budaya dan Bahasa Gayo, beliau sempat melontarkan pernyataan bahwa bahwa bahasa Gayo memiliki nilai filsafat yang amat tinggi.

    Selanjutnya seorang pakar Antropologi yang sudah banyak menulis buku tentang antropologi dan juga budaya, berasal dari USA dan sekarang ini berdomisili di Singapore yang bernama Edward Keith Pousson, yang mengabdikan dirinya sebagai dosen di perguruan Tinggi ternama di Asia yaitu; Asia Theological Centre Singapore, sangat tertarik pada Tanoh Gayo selain memiliki sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, seperti halnya kopi yang organic yang berkualitas tinggi dan juga beliau sangat tertarik dengan nilai-nilai Budaya Gayo dan Bahasa yang dimiliki oleh Etnik Gayo dan beliau sudah hampir setiap akhir tahun sejak dari tahun 2007 lalu hingga sekarang berkunjung ke takengon, menurut pengakuan beliau bahwa dia sangat kangen/ rindu kepada Gayo dan masyarakatnya (I miss with Gayo and community), hal ini diakuinya tanggal 19 Desember 2012 yang lalu ketika saya meminta pendapatnya tentang budaya dan bahasa Gayo. Dia mengambil contoh dari ungkapan memperkenalkan kawan “A” kepada “B”, katanya di Gayo ini kalau memperkenalkan antara satu orang kepada orang lainnya selalu menggunakan ungkapan “kite” atau ‘kita’, seperti; “ini pong te” , artinya ‘ini kawan kita’, atau dalam kontek lain “ini umah te” atau ‘ini rumah kita’ ini bersifat inclusiveness dan lain-lain, dalam kontek ini beliau mengakui bahwa etnik Gayo memiliki perasaan yang tinggi dalam hal sopan-santun atau kesantunan. Ungkapan dan tata cara etnik Gayo memperlakukan tamu inilah yang membuat beliau betah disini (Tanoh Gayo bersama orang Gayo) dan masih banyak lagi cara-cara berinteraksi yang lainnya yang beliau belum pernah jumpai dinegara lauar selain di Indonesia khusunya di Tanoh Gayo, dan selanjutnya beliau berkomentar bahwa “dia tetap merencanakan untuk kunjungannya ke-tanoh Gayo ini untuk tiap tahunnya.

    Kebudayaan Gayo timbul sejak orang gayo bermukim di wilayah ini dan mulai berkembang sejak kerajaan Linge Pertama abad ke XM. atau abad ke IV H, meliputi aspek kekerabatan, komunikasi sosial, pemerintahan, pertanian kesenian dan lain – lain. Adat istiadat sebagai salah satu unsur Kebudayaan Gayo Menganut Prinsip Keramat Mupakat, Behu Berdedale ( Kemulian karena Mufakat, Berani Karena Bersama ), Tirus lagu gelas belut lagu umut rempak lagu resi susun lagu belo ( Bersatu Teguh ) Nyawa sara pelok ratep sara anguk (kontak Batin ) atau tekad yang melahirkan kesatuan sikap dan perbuatan, banyak lagi kata – kata pelambang yang mengandung kebersamaan dan kekeluargaan serta keterpaduan. Pemerintah dan ulama saling harga menghargai serta menunjak pelaksanaan agama.

2. Sistem Nilai Budaya Gayo
    Di masa lalu masyarakat Gayo telah merumuskan prinsip – prinsip adat yang disebut kemalun ni edet. Prinsip adat ini menyangkut “harga diri” (malu) yang harus dijaga, diamalkan, dan dipertahankan oleh kelompok kerabat tertentu, kelompok satu rumah (sara umah), klen (belah), dan kelompok yang lebih besar lagi.

Prinsip adat meliputi empat hal berikut ini :
1. Denie – terpancang adalah harga diri yang menyangkut hak – hak atas wilayah.
2. Nahma teraku adalah harga diri yang menyangkut kedudukan yang sah.
3. Bela mutan ialah harga diri yang terusik karena ada anggota kelompoknya yang disakiti atau dibunuh.
4. Malu tertawan ialah harga diri yang terusik karena kaum wanita dari anggota kelompoknya diganggu atau difitnah pihak lain.

    Dan kemudian tutur merupakan sistem panggilan yang ada dalam masyarakat Gayo. Suku ini digolongkan ke dalam kelompok melayu tua atau proto Melayu. Sebagai tambahan, daerah pesebarannya terdiri atas Takengon (kabupaten Aceh Tengah) & kabupaten Bener Meriah (Gayo Lut dan Gayo Deret), Gayo Lokop (Serbejadi, Aceh Timur), Gayo Kalul (pulo Tige, Aceh Tamiang), kabupaten Gayo Lues dan sebagian di kabupaten Aceh Tenggara (Gayo Lues) serta sebagian kecil di Aceh Selatan. Orang Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara biasa menyebut dirinya sebagai Gayo Alas. Hal ini tidak terlepas dari daerah kediamannya yang mayoritas didiami oleh suku Alas. Perbedaan-perbedaan penamaan di atas erat kaitannya dengan persebaran dari suku-suku ini (Al-Gayoni, 2006: 8-11, 2007).

    Abbas Pulungan dalam Sarakopat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah (Syukri, 2006: 165) mendefinisikan tutur sebagai jalur penghubung untuk menguatkan ikatan kekerabatan. Sementara M.J. Melalatoa mengatakan bahwa tutur adalah tutur, sistem atau istilah kekerabatan (1985:406). Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Gayo kerap menggunakan tutur. Dengan kata lain, mereka bertutur satu sama lain. A. R. Hakim Aman Pinan yang dikenal sebagai salah satu budayawan Gayo (mantan ketua LAKA Aceh Tengah, sekarang Majelis Adat Aceh), membagi tutur ini menjadi 60 bentuk tutur (1998). Musfata Ak sendiri, yang sehari-hari sebagai ketua Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo (MANGo) membedakan tutur ini menjadi 63 bentuk tutur dengan fungsi dan pemakaian yang berbeda-beda.

    Namun saat ini para generasi sekarang hal yang tersebut di atas sudah jarang ditemui di tengah masyarakat, seperti memaknai ungkapan-ungkapan yang berbentuk tidak langsung dan bernilai tamsil (perumpamaan). Ketidak pahaman tentang makna tuturan tersebut oleh genarsi sekarang sehingga dapat berakibat pelencengan makna dan fungsi. Ungkapan-ungkapan yang tidak langsung dan perumpamaan ini bertujuan untuk saling menjaga perasaan, kedamain, dan harmonisasi, yaitu berguna untuk menjaga keharmonisan, yang gunanya untuk mengurangan bahasa-bahasa yang kasar.

4. Tutur (panggilan)
    Pembagian bentuk tutur tersebut berkaitan erat dengan sistem atau bentuk keluarga yang ada pada masyarakat Gayo. Pecahan-pecahan tutur selanjutnya seperti yang disebutkan di atas, berasal dari dua sumber tutur utama yaitu dari pihak pedih (pihak keluarga laki-laki) dan ralik (pihak keluarga perempuan). Ama dan ine misalnya, pihak ama disebut sebagai pihak pedih, sementara dari pihak ine disebut dengan pihak ralik. Dengan begitu, tutur yang dipakai pun kemudian akan berbeda antara pihak pedih dan pihak ralik. Misalnya, panggilan abang dari pihak ama dan pihak ine. Untuk pihak ama, kita panggil dengan ama kul, ama lah, ama ucak atau ama ecek, sedangkan untuk pihak ine kita sapa dengan pun, dan lain-lain. Sebutan ama kul, ama lah dan ama ucak atau ama ecek tergantung pada kedudukan yang bersangkutan dalam keluarga. Untuk kasus ama tadi misalnya, dipanggil ama kul, dikarenakan ama kul merupakan abang dari ama (bapak), yang paling besar (ama = bapak, sedang kul=besar). Begitu juga halnya dengan ama lah dan ama ecek atau ama ucak, masing-masing berarti ama, bapak yang kedudukannya berada antara yang sulung dan yang bungsu serta adik bapak yang bungsu.

    Pemakaian tutur di atas menunjukkan tingkat kesantunan berbahasa yang dimiliki oleh suku ini. Pemakaian bentuk tutur yang digunakan bergantung pada umur, kedudukan, aliran darah dan hubungan kekeluargaan dari lawan tutur yang dihadapi penutur. Misalnya saja, seorang anak memanggil orang tuanya, dalam hal ini bapaknya dengan panggilan ama dan ibunya dengan panggilan ine. Bentuk-bentuk tutur ini juga merupakan gambaran dari nilai-nilai agama Islam yang terkandung dalam adat istiadat masyarakat Gayo. Dalam kaitan ini, ada dalam bentuk tutur yang digunakan (Q.S. 4:8,9,63, 17:23, 28 dan 20:44, Murni: 2008). Selain menggambarkan kesantunan linguistik (kesantunan berbahasa) baik dari sudut pandang agama maupun dari sisi adat istiadat Gayo, seperti di sebutkan sebelumnya, tutur ini juga menunjukkan kedudukan seseorang atau lawan tutur dalam sebuah keluarga. Ungel misalnya, dia merupakan anak satu-satunya yang ada dalam keluarga. Contoh lain, sulu bere atau anak sulung, merupakan anak yang paling besar atau pertama lahir dalam keluarga. Lebih dari itu, bila dikaitkan dengan psikologi, melalui tutur ini, kita dapat mengetahui kepribadian seseorang. Pada akhirnya, pemakaian bentuk tutur yang baik dan benar akan berdampak pada keharmonisan dalam sebuah keluarga dan masyarakat (Mustafa Ak, 2008). Dengan demikian, bentuk dan pemakaian tutur ini merupakan gambaran dari cara pandang, sikap, karakter dan cerminan nilai-nilai agama Islam dan adat istiadat serta memiliki peranan yang cukup berarti bagi masyarakat Gayo itu sendiri.

    Akan tetapi, dewasa ini, pemakaian tutur ini sudah kurang dipakai dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Gayo terutama yang ada di Takengon (kabupaten Aceh Tengah) dan kabupaten Bener Meriah. Kurang atau tidak dipakainya tutur ini disebabkan karena sikap berbahasa penutur bahasa Gayo. Sebagian pentutur bahasa ini lebih cenderung memakai dan menggantikan bentuk tutur ini dengan kata lain dari bahasa lain. Pemakaian kata ama dan ine misalnya, kini penutur bahasa Gayo lebih menggunakan kata bapak dan mamak yang erat pengaruhnya dengan bahasa Indonesia. Penggantian tersebut dikarenakan kata-kata pengganti tersebut dianggap lebih prestisius. Bahkan penggunaan tutur ini tak jarang dipakai dalam bentuk yang salah. Penggantian pemakaian tutur ini dipengaruhi pula oleh perkembangan teknologi, informasi dan globalisasi. Sebagai akibatnya, terjadi perubahan dan pergeseran nilai dalam masyarkat Gayo termasuk dalam bahasa khususnya pemakaian tutur tadi.

    Selanjutnya, terjadinya interaksi budaya dalam masyarakat ini. Misalnya saja, terjadi perwakinan silang antara suku ini dengan suku-suku lainnya. Di Takengon dan Bener Meriah sendiri, terdapat lebih dari delapan etnik grup; Gayo, Aceh, Jawa, Padang, Cina, Karo, Batak, Sunda, dan lain-lain, yang dengan demikian memungkinkan terjadinya interaksi budaya. Disamping itu, sekarang sudah jarang terjadi transfer pengalaman dan pengetahuan berbahasa dari penutur yang lebih tua kepada yang muda. Istilah lain, kita menyebutnya dengan pembelajaran berbahasa Gayo. Dulunya, bentuk pembelajaran ini disampaikan melalui kekeberen, salah satu sastra lisan Gayo. Konsekuensinya, terjadi alih pengalaman, pembelajaran moral dan bahasa kepada penutur yang lebih muda. Namun, sekarang, kekeberen ini tidak lagi berperan dikarenakan jumlah pelakunya yang mulai terbatas atau usia lanjut, ketidakmampuan orang-orang tua (yang sekarang) dalam melakukan kekeberen dan perannya sudah digantikan dengan kehadiran teknologi tadi.

    Disamping pembelajaran berbahasa secara informal dan secara tidak langsung di atas (melalui kekeberen), bahasa Gayo dalam praktinya, yang di dalamnya termasuk pembelajaran prihal tutur tadi kurang diajarkan melalui lembaga pendidikan. Konon untuk anak-anak SD yang sekarang, mereka sudah diajarkan bahasa Gayo. Akan tetapi, pembelajaran bahasa Gayo yang ada masih bersifat terbatas baik dari alokasi waktu dan materi yang diberikan. Selain itu, upaya pembelajaran ini terhenti hanya sampai pendidikan dasar dan menengah pertama, itu pun hanya sampai kelas dua, tanpa ada tindak lanjut yang berkelanjutan. Tentunya, pembelajaran berbahasa ini terkait langsung dengan perencanaan dan kebijakan berbahasa yang masih kurang.

    Dengan melihat paparan di atas, sebagai bagian dari sistem sosial masyarakat Gayo, ditambah pentingnya fungsi dan peran tutur ini, penggunaan tutur ini perlu diajarkan baik secara formal maupun tidak formal, langsung dan tidak langsung, digunakan dan dipertahankan pemakaiannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo terutama yang mendiami Takengon (kabupaten Aceh Tengah) dan kabupaten Bener Meriah. Dengan demikian, pemertahanan identitas sosial akan terjadi dan mendorong terciptanya harmonisasi dalam masyarakat.

ditulis oleh Dr. Joni MN, M.Pd, B.I
Kerenem ni Gayology
Kerenem ni Gayology Gayology merupakan disiplin ilmu yang mengkaji tentang kegayoan

Posting Komentar untuk "Nilai budaya & Bahasa gayo Perspektif Gayology oleh Dr. Joni MN, M.Pd, B.I"