Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"GELAR "REJE" & "SULTAN" oleh Dr. Joni MN, M.Pd., B.I.

Merujuk dari berbagai referensi; buku, artikel, dan beberapa jurnal yang berkaitan dengan informasi sebutan gelar "Raja" dan "sultan" yang digunakan di Nusantara ini, sumber-sumber informasi tersebut menerangkan bahwa di Nusantara ini, gelar "Raja" dan "sultan" sudah digunakan sejak lama, namun sebutan-sebutan gelar itu bukan milik rakyat Nusantara ini.

Kedua gelar ini (Raja dan Sultan) sama-sama bersifat monarki dan digunakan oleh para penguasa monarki serta seiring berkembang serta menguatnya agama Hindu dan kemudian masuknya Islam ke bumi Nusantara ini, maka julukan "Raja" mulai diterapkan rakyat saat itu dan gelar "Sultan" pun mulai menjamur dan digunakan di Nusantara ini oleh penguasa-penguasa wilayah mulai dari yang besar dan/ ataupun kecil.

Raja di Nusantara yang pertama kali yang menggunakan Gelar Sultan di Nusantara adalah "Sultan Malik as-Saleh" seperti tertera pada nisan kuburnya pada tahun 696 H (1297 M) yang ditemukan di Gampong Samudra, bekas kerajaan Samudera Pasai, Kabupaten Lhokseumawe. Sebelumnya beliau bergelar "Raja".

Ditilik dari penjelasan di atas dapat dicermati, bahwa antara gelar Raja atau Sultan digunakan oleh rakyat yang ada di Nusantara ini adalah gelar "Raja", kemudian disusul dengan gelar Sultan karena pengaruh berkembangnya ajaran Islam di seluruh pelosok Nusantara ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "sultan" memiliki arti raja atau baginda.

Ditilik berdasarkan penjelasan di atas dan jika dikaitkan dengan struktur gelar-gelar para penguasa monarki atau pemimpin di Gayo dahulu sebelum kemerdekaan terdapat gelar asli sebutan Gayo dan berbahasa Gayo, yaitu; (1) Kejurun, (2) Merah, dan (3) Pengulu. Untuk hal ini butuh kajian mendalam, fokus dan serius, guna mengetahui yang sebenarnya, yakni apakah sebutan untuk gelar penguasa Monarki yang sejajar tersebut, apakah berlaku gelar "Reje" atau Raja khusus di Gayo atau apakah salah satu dari 3 gelar tersebut di atas, yaitu; Kejurun, Merah ataukah Pengulu yang digunakan oleh rakyat Gayo.

Jika dianalisa dari penjelasan di atas maka, dapat ditarik benang merahnya bahwa gelar penguasa yang berbentuk Monarki bagi rakyat Gayo yang tertinggi bukan "Reje" atau 'Raja'. Pada konteks ini perlu penggalian serius, fokus dan mendalam, yakni antara gelar; "Merah", "Kejurun" dan "Pengulu" karena istilah-istilah tersebut milik suku Gayo dan bahasa Gayo, hanya saja perlu urutan atau hirarki yang lebih tepat.

Untuk gelar "Sultan" pernyataan ini dilansir dari artikel Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2021) karya Chambert-Loir yang diterjemahkan oleh Winarsih Arifin, para penguasa muslim lebih suka memakai gelar sultan, yang sudah menyebar luas.

Nilam Isneni dalam artikelnya dalam "detik-hikma" yang berjudul Asal Gelar Sultan, Sebutan Raja pada zaman Islam, Semua gelar yang dipakai oleh para penguasa saat itu adalah sebagai bagian dari proses islamisasi yang terjadi secara terus-menerus.

Gelar Sultan kian menjadi tersohor di bawah pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir (1250-1517) sebelum mencapai puncaknya pada masa kekuasaan Dinasti Ottoman yang menjadi penerusnya.

Simpulan, sebelum Islam masuk dan menyebar di wilayah Nusantara, bagi pemimpin tertinggi yang bersifat monarki di kerajaan dikenal dengan sebutan raja. Namun, setelah Islam mulai menyebar luas raja pada zaman Islam disebut "Sultan".

Semoga akademisi dan peneliti-peneliti Gayo hari ini dan ke depan dapat menemukan kebenarannya yang akurat dan valid."

Ditulis oleh Ama Dr. Joni MN, M.Pd., B.I.
Ketua STIT AL-Washliyah Takengon

Kerenem ni Gayology
Kerenem ni Gayology Gayology merupakan disiplin ilmu yang mengkaji tentang kegayoan

Posting Komentar untuk " "GELAR "REJE" & "SULTAN" oleh Dr. Joni MN, M.Pd., B.I."