Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

RAMBU-RAMBU oleh Johansyah*

    Para pengendara sering berhenti di rambu-rambu lalu lintas, terutama ketika lampu merah sudah menyala. Beberapa saat harus menunggu sebelum bertukar ke lampu hijau sebagai tanda diperbolehkannya pengendara untuk melanjutkan perjalanannya kembali.

    Proses berhenti-lanjut di lampu merah berjalan secara teratur. Waktu sudah disetting sedemikian rupa. Ketika di satu arah terhenti karena lampu merah, lalu di arah lain melanjutkan berkendara, dan itu terus dilakukan secara bergiliran. Ketika ada yang melakukan pelanggaran, menerobos lampu merah, itu bisa jadi sangat berbahaya. Pengendaranya mungkin akan ditabrak oleh kendaraan lain yang memang pada saat itu gilirannya untuk melajukan kendaraannya setelah mendapat lampu hijau.

    Di wilayah yang padat kendaraan, rambu-rambu bersifat dharuriyah (mendesak). Kalau tidak ada rambu-rambu, gerak laju kendaraan tidak dapat diatur. Semua ingin cepat dan tidak satu orang pun yang ingin macet. Tapi karena semua berkeinginan sama, dan saat itu tidak ada yang mengatur, akhirnya terjadilah kemacetan karena tidak ada yang mau mengalah.

    Begitulah kehidupan manusia, untuk melahirkan keteraturan dan kenyamanan, terkadang harus dipaksa dengan regulasi dan aturan. Kalau tidak, orang yang sadar aturan pun akhirnya tidak mau ikut aturan meskipun dia sangat memegang teguh aturan. Contoh sederhana, ada orang yang biasanya sangat taat dengan budaya antri. Dia tetap menunggu nomor giliran untuk di panggil. Tiba-tiba di tempat dia berurusan, tidak ada budaya antri. Siapa yang mau cepat, lewati saja orang yang di depan. Awalnya dia sabar, tapi karena aturan tidak jelas, akhirnya dia tidak lagi menganut budaya antri, dan mengikuti pola yang tidak teratur tadi, kalau tidak, dia tidak mendapatkan giliran.

    Untuk itulah jika kita bisa ambil ibrah dari rambu-rambu di jalan raya; pertama, kehidupan ini ternyata memang harus menggunakan rambu-rambu. Di kampung ada norma dan nilai adat yang dijadikan rambu-rambu agar kehidupan masyarakat bisa aman dan nyaman. Di Gayo ada istilah, edet enti pipet, ukum enti bele (adat dan hukum jangan sampai diabaikan). Dalam berbagai sendi kehidupan dilahirkan berbagai falsafahnya yang tidak lain berfungsi untuk mengatur dan menata kehidupan masyarakat, khususnya di Gayo.

    Dari aspek keyakinan, masyarakat Gayo memiliki rambu-rambu, yakni ku atas mupucuk bulet, ku bumi mujantan tegep. Demikian halnya dalam kehidupan sosial masyarakat. Ada berbagai ungkapan yang menjadi landasan dalam membangun kehidupan sosial, yakni tertib bermajelis, umet bermulie, keramat mupakat behu berdedele, alang tulung berat berbantu, dan ungkapan-ungkapan lainnya. Semua itu adalah rambu-rambu adat yang dilahirkan oleh para pendahulu nenek moyang orang Gayo. Kiranya demikian juga dengan suku-suku lain di nusantara, tentu semua punya rambu-rambu adat masing-masing.

    Di pemerintahan juga ada aturan, mulai dari Undang-undang Dasar, Undang-undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan seterusnya. Negara Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Aturan apapun yang dihasilkan selanjutnya harus mengacu pada nilai-nilai inti yang telah tertuang dalam pancasila dan UUD 1945 karena inilah yang sudah disepakati sebagai rambu-rambu dasar negara.

    Demikian halnya dalam agama. Agama itu sendiri adalah aturan untuk menata kehidupan agama seseorang dalam berbagai aspek kehidupan, terutama ruhaniyahnya. Agama Islam minsalnya, memberikan batas-batas tertentu bagi perbuatan seseorang. Ada yang wajib, sunat, makruh, mubah, hingga haram. Semua itu dibuat berdasarkan pertimbangan kemanfaatan dan kemudharatan bagi manusia itu sendiri. Sesuatu yang dihalalkan berarti mengandung manfaat, dan sesuatu yang diharamkan berarti mengandung mudharat.

    Agama lain juga memiliki rambu-rambu tersendiri yang berbeda dengan lainnya. Sesuatu yang diharamkan dalam Islam, tidak diharamkan dalam agama lain. Contohnya memakan babi, minuman khamar, judi, dan sebagainya. Sebaliknya ada sesuatu yang dihalalkan dalam agama Islam, seperti sapi untuk disembelih, tapi bagi hindu di India hal ini ‘haram’ sapi tidak boleh dimakan. Begitu seterusnya. Jadi, masing-masing agama memiliki rambu-rambu yang berbeda.

   Kedua, rambu-rambu jalan memberikan pemahaman pada kita bahwa hidup ini harus saling mengharga dan memberikan kesempatan kepada orang lain. Di saat lampu merah menyala, tidak ada pilihan lain, harus berhenti. Pada saat yang sama kumpulan kendaraan dari arah lain melaju. Ini maknanya adalah memberikan kesempatan pada orang lain.

    Hal ini terlihat sederhana, tapi sesungguhnya sangat penting. Dalam berbagai kasus kita melihat, banyak orang yang layak memimpin sebuah lembaga karena kapasitasnya yang tidak diragukan lagi. Tapi tidak diberikan kesempatan sama sekali. Alasannya pun mungkin sangat konyol, hanya bersifat administratif, dan nyaris tidak berhubungan dengan jabatan yang akan dia duduki.

    Peristiwa lain yang sering kita temukan pula adalah banyaknya yang tua tidak memberikan kesempatan pada yang muda-muda. Di sebuah menasah, ada seorang muadzin yang tidak memperbolehkan anak-anak untuk adzan. Katanya nanti salah. Tidak hanya itu, setelah shalat jamaah, dia mengunci soundsystem dan harus dia yang memegang kuncinya. Ketika sampai waktu shalat, tidak ada yang bisa mengumandangkan adzan kecuali setelah dia datang.

    Masalahnya, apakah dia tetap bisa menjalankan tugas seperti itu seumur hidup, dan apakah dia senantiasa dalam keadaan sehat wal-afiat? Lagi pula kenapa tidak dilakukan pengkaderan untuk melatih anak-anak maupun remaja sebagai muadzin agar nanti ketika dia sakit atau meninggal dunia, ada yang menggantikannya? Untuk kasus imam juga saya pernah dengar ceritanya seperti itu. Harus dia yang jadi imam meski pun ada orang di belakang yang bacaannya lebih fasih dan umurnya juga lebih senior.

    Begitulah rambu-rambu. Sebenarnya banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran. Alam dan peristiwa yang terjadi di sekitar kita selalu memberikan pesan, nasehat, peringatan, dan teguran dengan caranya sendiri.Tapi terkadang kita saja yang abai dan menganggap semuanya sepele. Wallahu a’lam bishawab!

ditulis oleh Dr. Johansyah, MA
Pimpinan Dayah As-Sirajy Kebayakan Aceh Tengah

Kerenem ni Gayology
Kerenem ni Gayology Gayology merupakan disiplin ilmu yang mengkaji tentang kegayoan

Posting Komentar untuk "RAMBU-RAMBU oleh Johansyah*"